Wartawan di Bawah Tekanan Ekonomi: Ketika Idealisme Dihimpit Kemiskinan Struktural
Bogor,sorottopikor.com//
— Di tengah hiruk pikuk demokrasi dan banjir informasi, ada fakta pahit yang kerap diabaikan: banyak wartawan di Indonesia bekerja dalam kondisi ekonomi yang nyaris tidak manusiawi. Profesi yang disebut sebagai pilar keempat demokrasi ini justru berdiri di atas fondasi rapuh—upah rendah, status kerja tidak jelas, minim perlindungan, serta beban kerja yang terus meningkat.
Ironisnya, di saat wartawan dituntut kritis, independen, dan berani mengungkap kebenaran, realitas hidup mereka justru penuh tekanan. Tidak sedikit wartawan yang harus membiayai liputan dari kantong pribadi, bekerja tanpa kontrak layak, bahkan menggantungkan hidup pada “belas kasihan” narasumber. Kondisi ini bukan rahasia umum, tetapi seperti sengaja dibiarkan menjadi luka kronis dunia pers.
Tekanan ekonomi kini menjelma menjadi bentuk pembungkaman baru. Jika dahulu kebebasan pers direpresi secara terang-terangan, kini ia dilemahkan secara sistematis melalui kemiskinan struktural. Wartawan dipaksa bertahan di persimpangan antara idealisme dan kebutuhan perut. Dalam situasi seperti ini, integritas bukan lagi sekadar persoalan moral, melainkan soal bertahan hidup.
Persoalan semakin kompleks ketika perusahaan media, khususnya media lokal dan independen, sangat kesulitan menjalin kemitraan dengan instansi pemerintah. Alih-alih mendapatkan ruang kerja sama yang adil dan transparan, tidak sedikit media justru merasa dipersulit. Bahkan, muncul dugaan kuat bahwa kemitraan media dengan pemerintah sarat keberpihakan, hanya menguntungkan media-media tertentu yang dinilai “sejalan” atau tidak kritis.
Praktik ini secara tidak langsung menciptakan diskriminasi ekonomi dalam ekosistem pers. Media yang kritis dan independen dipinggirkan dari akses kerja sama, sementara media yang kompromistis justru mendapat ruang dan anggaran. Akibatnya, banyak perusahaan media kesulitan bertahan, dan dampaknya kembali menghantam wartawan di lapangan yang sudah berada dalam kondisi rentan.
Pemimpin Redaksi mataexpose.co.id, Dede Hanapi, menyebut kondisi ini sebagai kegagalan ekosistem pers dalam melindungi wartawannya sendiri.
“Kita sering bicara kebebasan pers, tapi lupa satu hal mendasar: wartawan dibiarkan miskin. Ini kemunafikan sistemik. Jangan salahkan wartawan jika integritas mereka tergerus, ketika negara dan perusahaan pers gagal memberi perlindungan dan kesejahteraan,” tegasnya.
Menurut Dede, banyak perusahaan media telah menjauh dari ruh jurnalistik dan berubah menjadi mesin bisnis semata, sementara wartawan diposisikan sebagai alat produksi murah.
“Ada media yang hidup dari iklan dan kekuasaan, tapi wartawannya hidup dari utang. Ini kejahatan moral. Jika pemilik media bicara idealisme, tapi membiarkan wartawannya kelaparan, itu kebohongan publik,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa wartawan yang lemah secara ekonomi sangat rentan ditekan oleh kepentingan politik dan modal.
“Pers yang lapar tidak mungkin merdeka. Selama wartawan dan perusahaan media tidak berdaulat secara ekonomi, maka kebebasan pers hanyalah slogan kosong. Yang dikorbankan bukan hanya wartawan, tetapi hak masyarakat atas kebenaran.”
Situasi ini menjadi tamparan keras bagi negara, Dewan Pers, dan seluruh pemangku kepentingan. Regulasi tanpa pengawasan, kemitraan tanpa keadilan, sertifikasi tanpa perlindungan, serta slogan kebebasan tanpa kesejahteraan hanyalah formalitas yang gagal menyentuh akar persoalan.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, jangan heran bila publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap media. Bukan karena wartawan tidak mampu bekerja dengan baik, melainkan karena sistem telah memaksa mereka bertarung sendirian di tengah himpitan ekonomi dan tekanan kekuasaan.
Sudah saatnya dunia pers berhenti berpura-pura baik-baik saja. Menyelamatkan jurnalisme tidak cukup dengan seminar dan slogan, tetapi dengan keberanian membenahi kesejahteraan wartawan dan menciptakan ekosistem kemitraan media–pemerintah yang adil, transparan, dan tanpa keberpihakan. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi panggung sandiwara, dan pers sekadar figuran yang kelelahan.
Ibing

