Ratusan Kilo Sawit ‘Menguap’ di Timbangan, Petani Sebamban Serukan Sidak dari Pemerintah

Sebamban, Tanah Bumbu,Sorottipikor.com//

– Aroma ketidakadilan mulai tercium tajam di kawasan Sebamban 3, Blok B. Sejumlah petani sawit bersuara lantang setelah mendapati hasil jerih payah mereka seperti “menguap” di meja timbangan milik para pengepul. Dugaan adanya praktik kecurangan pun mencuat, menyisakan kekecewaan mendalam di kalangan petani.

Salah satu petani, Ibung Adi, mengisahkan pengalaman yang sulit ia terima. Bersama rekannya, ia menimbang sendiri 100 tandan buah sawit yang menghasilkan berat 1.100 kilogram. Namun, saat dijual ke pengepul, hasil timbangannya hanya tercatat 800 kilogram. Selisih 300 kilogram tentu bukan angka yang bisa dianggap sepele.

“Kalau cuma sekali mungkin bisa dimaafkan. Tapi kalau hampir setiap kali panen begini, rasanya kami dipermainkan,” ujar Ibung Adi dengan nada getir, Minggu, 29 Juni 2025.

Kondisi ini, menurutnya, bukan dialami segelintir orang saja. Sebagian besar petani di sekitar lokasi merasakan hal serupa: berat sawit yang mereka jual tak pernah sesuai harapan, bahkan kerap terpaut jauh dari kenyataan di lapangan. “Dua ton buah sawit bisa berkurang 400 kilo. Itu bukan selisih biasa, tapi kerugian nyata,” lanjutnya.

Dalam dunia pertanian, hasil panen adalah nyawa. Setiap kilo buah sawit yang hilang berarti berkurangnya pendapatan, dan dalam jumlah besar, itu menjadi pukulan telak terhadap ekonomi keluarga. Para petani kini merasa berada dalam posisi yang dilemahkan secara sistematis.

Melihat kondisi tersebut, para petani mendesak agar Dinas Koperasi dan Perdagangan Kabupaten Tanah Bumbu, melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Metrologi Legal, segera turun ke lapangan. Mereka tak hanya ingin musyawarah di tingkat desa, tetapi juga pengawasan nyata terhadap alat timbang yang digunakan para pengepul.

Permintaan ini bukan tanpa dasar. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, setiap alat ukur dan timbangan yang digunakan dalam transaksi jual beli wajib diawasi dan disertifikasi. Termasuk timbangan yang digunakan oleh pengepul, meskipun mereka hanya berstatus perorangan.

“Yang kami minta bukan belas kasihan, tapi keadilan. Kami ingin ditimbang dengan benar, itu saja,” ungkap seorang petani lainnya yang memilih tak disebutkan namanya.

Keluhan ini bukan sekadar suara emosional petani, tetapi merupakan sinyal bahaya dari lapisan bawah rantai distribusi hasil pertanian. Jika dibiarkan, bukan hanya kepercayaan petani terhadap pasar yang runtuh, tapi juga semangat mereka untuk terus bertani bisa padam perlahan.

Kini, bola ada di tangan pemerintah. Akankah mereka berpihak pada keadilan, atau membiarkan ketimpangan ini terus mengakar?

(Tim)

Please follow and like us:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *